Rabu, 31 Agustus 2016

memaknai kalimat TUHAN tak pernah tidur

Memaknai Kalimat
Oleh Ananta Damarjati

Pada saat-saat tertentu, kalimat "Tuhan tidak pernah tidur" terdengar sangat teduh dan seolah mampu mencerabut hampir separuh beban hidup. Dalam alam bawah sadarnya, manusia beriman memang dapat dengan haqqul yaqin mengaktualisasikan kalimat ini dalam konteks keseharian. Yang menarik serta hampir bisa dipastikan, kemunculan kalimat itu dalam kesadaran diri manusia cenderung insidentil dan mencerminkan potensi psikologisnya yang khas.

Bisa dibilang, kalimat itu muncul sebagai salah satu tindak bahasa manusia, sangat konotatif. Dan biasanya, kalimat itu tercetus dengan perasaan khawatir, gelisah atau waswas, pahit, getir, dan sebagainya. Yang jelas ketika itu --simplifikasinya-- manusia berada dalam posisi tidak diuntungkan, didzalimi, pasrah, hampir kalah, dan situasi pelik lain yang terlihat mustahil bagi manusia untuk dapat diselesaikan.

Dibalik itu muncul sosok “Maha Sempurna” yang terkesan sangat dimonopoli; bahwa Dia sedang bersama saya kali ini, Dia tahu saya yang benar, maka anda memusuhi pihak yang salah, dan ribuan kalimat imajiner lain yang jika memang betul seperti itu, samasekali tidak membawa penyelesaian. Karena makna denotatifnya sangat tidak berhubungan dengan ide atau representasi psikis yang ditimbulkan kalimat tersebut kepada kesadaran.

Sebagaimana kritik Feuerbach terhadap agama. Bahwa manusia beragama karena terikat oleh alam. Manusia lemah sedangkan alam yang didapatinya sangat kuat dan ganas. Oleh karena itu untuk mengatasi, tepatnya, untuk membebaskan diri dari alam yang ganas ini manusia membayangkan suatu kekuatan berpribadi sempurna.

Dengan bayangan ini manusia mampu mengatasi segala macam penderitaannya. Ringkasnya, bayangan Allah hanyalah refleksi dari jiwa manusia yang sengsara. Seorang yang miskin mempunyai tuhan yang kaya, orang-orang cinta damai memiliki tuhan yang belas kasih. (Andi Muawiyah Ramly, 69:2009).

Pada titik selanjutnya terlihat bahwa, kalimat "Tuhan tidak tidur" kurang lebih hanya menjadi salah satu bentuk tindakan manusia yang konotasinya tidak menampilkan hakikat kalimatnya. Makna yang ditimbulkan pun tidak terikat, tergantung posisi dan kegunaan, sedang mencari keadilan kah, atau terhimpit ekonomi kah, menghadapi fitnah kah, dan lain-lain.

Dan, jika bicara kegunaan serta posisinya, sepintas terasa kalimat itu tidak terdeskripsi dengan jelas. Posisinya kabur kepalang tanggung karena ada pada titik ambivalensi antara takdir Tuhan dan ikhtiar manusia. Kegunaannya, sementara ini belum ada yang lebih tepat dari sekedar penegasan tentang situasi sulit yang sedang dihadapi manusia.

Kalau boleh disederhanakan, bercocok tanam, mencangkul, memupuk jelas ikhtiar seorang petani, manusia. Tiga bulan kedepan bisa panen atau tidak itu takdir Tuhan. Jika mengacu pada contoh ini, logika kalimat "Tuhan tidak tidur" bisa jadi muncul ketika ditengah jalan dijumpai serangan hama wereng yang sangat masif, padahal keluarga petani kecil itu sedang sangat membutuhkan panen untuk menopang biaya hidup.

Jika kalimat itu muncul dalam sinetron hari ini, niscaya penonton akan dibuat geram karena bersamaan dengan itu ada tokoh protagonis yang sedang nelangsa ditimpa musibah dahsyat, bisa jadi disebabkan serangan dari tokoh antagonis. Biasanya, oleh sutradara dramatisasi kalimat itu diletakkan sebelum titik klimaks. 

Sayangnya dunia manusia dan bahasanya tidak berada dalam tataran logika sinetron, yang punya ribuan cara untuk mengeluarkan Tuhan dari mesin cetaknya dengan rating dan iklan sebagai titik pijaknya. Kalaupun dunia nyata ada persamaan dengan beberapa situasi sinetron, hal itu tak lebih dari sekedar kemiripan sebagaimana kemiripan dalam sebuah keluarga besar.

Fenomena kalimat itu dalam keseharian, sekali lagi, persis di tengah antara takdir dan ikhtiar, status quo yang tak terdefinisikan. Dalam tataran aksiologi, kemunculannya selalu berdenyut di atas ambivalensi makna sebagai bentuk pelarian psikis (untuk tidak menyebutnya sebagai fatalis). Sehingga setelah kalimat itu terlontar, keburaman melihat permasalahan hidup terkesan semakin nyata, sulit untuk dilanjutkan.

Sebenarnya bukan menjadi masalah serius jika "Tuhan tidak tidur" muncul sebagai pelarian psikis dan berhenti disitu, fitrah manusia memang lemah, hina, tak berdaya sehingga butuh sebuah pertolongan. Dalam ilmu tassawuf hal ini menjawab pernyataan Feuerbach, sekaligus membalik paradigma antropologis barat umumnya yang berbunyi "aku berpikir maka aku ada" dengan "aku tidak ada maka Dia ada".

Masalahnya, tidak ada kejelasan posisi aku sebagai mahkluk dan Dia sebagai Tuhan dalam kalimat itu. Di sini saya bukan bermaksud untuk mendikotomiskan antara takdir dengan ikhtiar, antara berdzikir dan berpikir. Melainkan sekedar urun rembug tentang bagaimana memahami kedua hal itu sekecil apapun tindakannya. Apalagi kedua hal tersebut tidak boleh ditinggal salah satunya.

Pada kalimat itu jelas ada sebuah tindak dzikir, ingat kepada Tuhan. Idealnya hal ini patut diimbangi dengan intuisi, pengetahuan tentang konsep, kebenaran dan pemecahan masalah dalam kegiatan berpikir. Sehingga tidak terjadi paradigma yang keliru dalam memandang sebuah masalah.

Dalam berpikir, intuisi akan mengidentifikasi dirinya. Apakah --dalam hal ini terucapnya kalimat Tuhan tidak tidur-- itu sebagai ilham, waswas, atau struktur kejiwaan manusia itu sendiri. Ibnu Qayyim al-Jauziyah (Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, hal 292:2002), secara tegas membedakan antara ilham dan waswas menjadi empat.

Pertama, ilham dapat menghantarkan seseorang untuk berbuat sesuatu yang diridhai oleh Allah SWT dan rasulnya, sedangkan waswas sebaliknya. Kedua, ilham dapat mendatangkan kepasrahan, penyadaran, dan hasrat untuk bermuwajahah kepada Allah SWT. Sedangkan waswas menuju pada musuh-musuh Nya. Ketiga, ilham dapat menerangi ruangan batin yang dapat melapangkan dada. Sedangkan waswas dapat mendatangkan kegelapan batin yang menyesakkan dada. Keempat, ilham dapat mendatangkan ketenangan dan ketenteraman. Sedang waswas mendatangkan keresahan dan kegoncangan.

Atau, sejauh yang bisa saya tangkap dari pernyataan di atas. Ibnu Qayyim mengingatkan bahwa dalam hal dzikir, ingat saja tidak cukup. Apalagi jika tergelincir menjadi dzikir tapi tidak ingat. Dalam bahasa lain, Lillah saja tidak cukup, karena setelah itu wajib untuk juga sadar Billah. Maka penting untuk memahami sebuah persoalan dengan berpikir intuitif. Itupun harus dipilah lagi antara intuisi yang benar atau menyesatkan.

Berdasarkan asumsi ini, status quo dalam kalimat "Tuhan tidak tidur", dengan kekhasan perspektif, pengalaman serta harapan yang ada di dalamnya, rasanya menjadi penting untuk ditimbang ulang penggunaannya. Apakah dengan mengucap kalimat itu disertakan pula kesadaran intuitif, Billah, untuk mendapat sebuah ilham. Atau malah timbul dari rasa waswas dan bisikan nafsani, al-khawatir.

Memang dalam satu kalimat saja bisa menimbulkan beribu penafsiran. Tapi semua bisa salah, termasuk tulisan ini. Yang jelas dalam tulisan ini hanyalah makna denotatif bahwa Tuhan, Allah SWT tidak pernah tidur, tertidur bahkan mendengkur. Lah, kalau Tuhan tidur, siapa yang berani membangunkan?

Ananta Damarjati
Penulis adalah Alumni Ponpes Kedunglo, Kediri. Anggota aktif Lingkar Studi “Matakuhati” Semarang.

Minggu, 17 Juli 2016

KEWAJIBAN- KEWAJIBAN HATI

FASAL : Menerangkan kewajiban-kewajiban hati.
Termasuk kewajiban-kewajiban qolbiyah adalah :
1. iman kepada Allah .
2. iman kepada apa yang datang dari Allah.
3. iman kepada utusan Allah
4. iman kepada apa yang datang dari utusan Allah.
5. tashdiq (menerima dan tunduknya hati thd apa yang sudah diketahui dari agama secara pasti) yang bermakna iman kepada ke empat hal tsb
6. yakin yaitu tdk ragu terhadap apa yang wajib di imani.
7. ikhlash yaitu amal dalam keta'atan hanya untuk Allah saja.
8. menyesali kemaksiyatan karena maksiyat menyelisihi perintah sang Maha Pencipta.
9. tawakkal yaitu berpegang teguh kepada Allah dalam urusan rizki, keselamatan dari bahaya dan selain hal itu, dan tidak condong kepada sebab-sebab beserta menggunakannya.
10. muroqobah lillah /merasa diawasi oleh Allah, yaitu melanggengkan rasa hadir bahwa sesungguhnya Allah mengawasinya, mengetahui, melihat dan mendengarnya, tujuan muroqobah adalah agar langgeng perasaan takut dari menyelisihi perintah Allah.
11. ridho kepada Allah, yaitu pasrah kepada Allah ta'ala dan tdk berpaling kepada Allah subhanah.
12. husnudz dzon billah /berbaik sangka kepada Allah caranya dengan mengingat ingat apa yang Allah biasakan kepadanya dari kebaikan, jadi dia mengharap kebaikan yang serupa di waktu mendatang.
13. husnudz dzon kepada makhluk Allah, caranya dengan tdk berburuk sangka tanpa adanya indikasi yang mencukupi secara syar'i.
14. mengagungkan syi'ar Allah, maksud syi'ar disini adalah setiap sesuatu yang dijadikan tanda atas keta'atan misalnya sholat,dan maksudnya adalah mengagungkan setiap hal yang di agungkan oleh syare'at.
15. bersyukur atas nikmat Allah, maksudnya adalah tdk mengunkana kenikmatan dalam bermaksiyat kepada Allah.
16. bersabar dalam menjalankan apa yang Allah wajibkan dan bersabar atas apa yang Allah hramkan , maksudnya adalah menjauh dari hal yang di larang.dan bersabar terhadap ujian Allah kepadamu dengan cara ujian tsb tidak mendorongmu kepada kemaksiyatan.
17. tsiqqoh dalam masalh rizki, yaitu percaya bahwa apa yang telah ditulis bagimu untuk kau anfa'atkan tidak akan hilang darimu.
18. mencurigai nafsu terhadap apa yang diperintahkan olehnya, khawatirnya perintah tsb adalah tipuan yang bisa menyampaikan pada hal yang dilarang,
19. tidak ridho kepada nafsu dengan mengingat ingat kesalahannya.
20. membenci syetan dengan cara condong pada menyelisihinya.
21. membenci dunia dengan tdk melirik pada apa yang dapat melalaikan dari keta'atan kepada Allah,
22. membenci ahlul maksiyat dengan menjauh darinya, lari dari kemaksiyatan dan menolak ikut dengan mereka dalam kemaksiyatan.
23. cinta kepada Allah ta'ala dengan cara menempatkan hati untuk beribadah kepada-Nya saja, mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
24. mencintai kalam-Nya dengan cara menjaga keagungan ayat-ayatNya, menghormatinya dan beramal dengannya.
25. mencintai utusan-Nya yaitu Nabi shollallohu alaihi wasallma , dengan cara beriman kepadanya, menghormatinya dan condong kepada kesempurnaan mengikutinya.
26. mencintai Nabi-nabi Allah lainnya, dengan cara beriman kepada mereka dan menghormati mereka.
27. mencintai para sahabat dengan menghadirkan keutamaan mereka sebab mereka lebih dahulu masuk islam dan kemuliaan mereka sebab bersahabat dengan Nabi, dan pertolongan mereka kepada Nabi shollallohu alaihi wasallam dan sebab penyampaian mereka kepada agama.
28. mencintai keluarganya Nabi dengan cara menjaga mereka untuk memuliakan Nabi shollallohu alaihi wasllam, mereka adalah keluarganya Nabi dan kerabatnya.
29. mencintai muhajirin dan anshor yaitu orang yang menolong agama dari penduduk makkah almukarromah dan madinah al munawwawroh, apalagi yang mula-mula masuk islam diantara mereka.
30. mencintai orang sholeh dengan cara mengagungkan mereka , condong kepada mereka dan menapaki jalan mereka.
Wallohu a'lam.
Sumber : Sullam Taufiq, Ba'alawi Al Hadhromi

Selasa, 28 Juni 2016

Dibalik Anjuran ROSULULLAH SAW soal Kemandirian

Di Balik Anjuran Rasulullah SAW soal Kemandirian

Selasa, 29 Juni 2016 19:02 Ubudiyah
Bagikan
Di Balik Anjuran Rasulullah SAW soal Kemandirian
Rasululah SAW sangat mengajurkan umatnya untuk mandiri secara ekonomi. Dampak kemandirian ini sangat luas. Orang yang hidup mandiri dapat berjalan setengah “terbang” saking ringannya. Karena orang yang hidup mandiri tidak terbebani oleh hutang budi kepada siapa pun.

Hadits Rasulullah SAW berikut ini menjelaskan nilai tambah bagi mereka yang menjaga harga dirinya dari ketergantungan kepada orang lain.

عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ، مَوْلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ»

Artinya, dari Abu Ubaid, hamba Abdurrahman bin Auf. Ia mendengar Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh, pikulan seikat kayu bakar di atas punggung salah seorang kamu (lantas dijual) lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, entah itu diberi atau tidak diberi,’” HR Bukhari.

Kemandirian merupakan salah satu sifat para nabi. Hal ini diceritakan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya berikut ini.

عَنِ المِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ، خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ»

Artinya, dari Miqdam, dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Tiada sesuap pun makanan yang lebih baik dari makanan hasil jerih payahnya sendiri. Sungguh, Nabi Daud AS itu makan dari hasil keringatnya sendiri,” HR Bukhari.

Perihal hadits Rasulullah SAW itu, Guru Besar Ulumul Hadits Fakultas Syariah Universitas Damaskus Syekh Musthafa Diyeb Al-Bugha membuat catatan singkat berikut ini.

[ ش (قط) في أي زمن مضى. (أن يأكل من عمل يده) من كسبه ونتيجة صنع يده]

Artinya, “Kata ‘pun’ dalam hadits di atas bermakna ‘di setiap waktu yang telah lalu’. Sedangkan ‘makanan hasil jerih payahnya sendiri’ itu pengertiannya adalah dari hasil usaha dan buah dari kerja kerasnya.”

Hadits ini jelas mengisyaratkan kepada umatnya agar menerima imbalan sesuai dengan hasil keringatnya. Rasulullah SAW tidak menghendaki umatnya untuk menerima hadiah di luar gaji yang ditentukan seperti yang dikenal sekarang dengan gratifikasi dalam menjalankan tugas hariannya.

Apalagi bagi mereka yang terikat dalam kedinasan tertentu. Selain tidak berkah, gratifikasi dapat menjerumuskannya ke dalam jeratan hukum positif. Sampai di sini harkat orang yang bersangkutan tidak lagi diperhitungkan di dunia dan di akhirat. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)

Di Balik Anjuran Rasulullah SAW soal Kemandirian
Rasululah SAW sangat mengajurkan umatnya untuk mandiri secara ekonomi. Dampak kemandirian ini sangat luas. Orang yang hidup mandiri dapat berjalan setengah “terbang” saking ringannya. Karena orang yang hidup mandiri tidak terbebani oleh hutang budi kepada siapa pun.

Hadits Rasulullah SAW berikut ini menjelaskan nilai tambah bagi mereka yang menjaga harga dirinya dari ketergantungan kepada orang lain.

عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ، مَوْلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ»

Artinya, dari Abu Ubaid, hamba Abdurrahman bin Auf. Ia mendengar Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh, pikulan seikat kayu bakar di atas punggung salah seorang kamu (lantas dijual) lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, entah itu diberi atau tidak diberi,’” HR Bukhari.

Kemandirian merupakan salah satu sifat para nabi. Hal ini diceritakan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya berikut ini.

عَنِ المِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ، خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ»

Artinya, dari Miqdam, dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Tiada sesuap pun makanan yang lebih baik dari makanan hasil jerih payahnya sendiri. Sungguh, Nabi Daud AS itu makan dari hasil keringatnya sendiri,” HR Bukhari.

Perihal hadits Rasulullah SAW itu, Guru Besar Ulumul Hadits Fakultas Syariah Universitas Damaskus Syekh Musthafa Diyeb Al-Bugha membuat catatan singkat berikut ini.

[ ش (قط) في أي زمن مضى. (أن يأكل من عمل يده) من كسبه ونتيجة صنع يده]

Artinya, “Kata ‘pun’ dalam hadits di atas bermakna ‘di setiap waktu yang telah lalu’. Sedangkan ‘makanan hasil jerih payahnya sendiri’ itu pengertiannya adalah dari hasil usaha dan buah dari kerja kerasnya.”

Hadits ini jelas mengisyaratkan kepada umatnya agar menerima imbalan sesuai dengan hasil keringatnya. Rasulullah SAW tidak menghendaki umatnya untuk menerima hadiah di luar gaji yang ditentukan seperti yang dikenal sekarang dengan gratifikasi dalam menjalankan tugas hariannya.

Apalagi bagi mereka yang terikat dalam kedinasan tertentu. Selain tidak berkah, gratifikasi dapat menjerumuskannya ke dalam jeratan hukum positif. Sampai di sini harkat orang yang bersangkutan tidak lagi diperhitungkan di dunia dan di akhirat. Wallahu a‘lam. (mustaqim)

keistimewaan lailatul qodar

Sejumlah Pandangan Perihal Keistimewaan Lailatul Qadar

Jumat, 24 Juni 2016 16:07 Ubudiyah
Bagikan
Sejumlah Pandangan Perihal Keistimewaan Lailatul Qadar
Kehadiran lailatul qadar ditunggu oleh siapapun. Bahkan orang sekaliber Nabi Muhammad pun menanti kedatangannya. Namun sayangnya, tidak ada seorang pun yang tahu kapan kepastian harinya. Tampaknya, Allah SWT sengaja merahasiakannya agar manusia senantiasa melanggengkan ibadah di bulan Ramadhan.

Dalam surat Al-Qadar ayat 3 disebutkan bahwa lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan (khairun min alfi syahrin):

ليلة القدر خير من ألف شهر

Artinya, “Malam kemuliaan (lailatul qadar) itu lebih dari seribu bulan,” (QS: Al-Qadar: 3).

Ulama berbeda pendapat terkait maksud “lebih baik dari seribu bulan” dalam ayat ini. Ibnu Bathal misalnya, dalam Syarah Shahih al-Bukhari mengatakan sebagai berikut:

فإنها خير من ألف شهر، يعنى بذلك أن عملاً فيها بما يرضى الله ويحبه من صلاة ودعاء وشبهه خير من عمل فى ألف شهر ليس فيها ليلة القدر

Artinya, “Maksud dari ‘lebih baik dari seribu bulan’ ialah mengerjakan amalan yang diridhai dan disukai Allah SWT di malam tersebut, seperti shalat, do’a, dan sejenisnya, lebih utama ketimbang beramal selama seribu bulan yang tidak ada lailatul qadhar di dalamnya.”

Al-Mawardi di dalam kitab tafsirnya An-Nukat wal ‘Uyun memaparkan lebih lengkap tafsiran ulama terkait maksud ayat di atas. Terdapat lima penafsiran populer mengenai maksud “lebih baik dari seribu bulan”: Pertama, Ar-Rabi’ berpendapat bahwa lailatul qadar lebih baik dari umur seribu bulan. Kedua, menurut Mujahid, beramal di lailatul qadar lebih utama dari beramal seribu bulan di selain lailatul qadar. Ketiga, Qatadah mengatakan, lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan yang tidak terdapat di dalamnya lailatul qadar.

Keempat, Ibnu Abi Najih dan Mujahid mengisahkan, seorang dari Bani Israil pernah mengerjakan shalat malam hingga shubuh. Pada waktu paginya, dia berperang sampai sore. Rutinitas ini dilakukannya selama seribu bulan. Kemudian Allah SWT mengabarkan bahwa beribadah pada lailatul qadar lebih baik dari amalan yang dilakukan laki-laki tersebut, meskipun selama seribu bulan. Kelima, ada pula yang berpendapat, beribadah saat  lailatul qadar lebih baik dari kekuasan Nabi Sulaiman selama lima ratus bulan dan kekuasaaan Dzul Qarnain selama lima ratus bulan.

Kendati ulama berbeda pendapat, namun pada hakikatnya semuanya sepakat bahwa  lailatul qadar adalah malam mulia yang sangat baik digunakan untuk beribadah. Dalam sebuah tafsiran dikatakan, kata “seribu bulan” dalam ayat di atas sebenarnya mengisyaratkan sepanjang hari. Artinya, sampai kapanpun keutamaan lailatul qadar tidak tergantikan. Semoga kita diizinkan untuk beramal saleh tepat pada malam yang sarat kemuliaan ini. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdiansyah)
Sejumlah Pandangan Perihal Keistimewaan Lailatul Qadar
Kehadiran lailatul qadar ditunggu oleh siapapun. Bahkan orang sekaliber Nabi Muhammad pun menanti kedatangannya. Namun sayangnya, tidak ada seorang pun yang tahu kapan kepastian harinya. Tampaknya, Allah SWT sengaja merahasiakannya agar manusia senantiasa melanggengkan ibadah di bulan Ramadhan.

Dalam surat Al-Qadar ayat 3 disebutkan bahwa lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan (khairun min alfi syahrin):

ليلة القدر خير من ألف شهر

Artinya, “Malam kemuliaan (lailatul qadar) itu lebih dari seribu bulan,” (QS: Al-Qadar: 3).

Ulama berbeda pendapat terkait maksud “lebih baik dari seribu bulan” dalam ayat ini. Ibnu Bathal misalnya, dalam Syarah Shahih al-Bukhari mengatakan sebagai berikut:

فإنها خير من ألف شهر، يعنى بذلك أن عملاً فيها بما يرضى الله ويحبه من صلاة ودعاء وشبهه خير من عمل فى ألف شهر ليس فيها ليلة القدر

Artinya, “Maksud dari ‘lebih baik dari seribu bulan’ ialah mengerjakan amalan yang diridhai dan disukai Allah SWT di malam tersebut, seperti shalat, do’a, dan sejenisnya, lebih utama ketimbang beramal selama seribu bulan yang tidak ada lailatul qadhar di dalamnya.”

Al-Mawardi di dalam kitab tafsirnya An-Nukat wal ‘Uyun memaparkan lebih lengkap tafsiran ulama terkait maksud ayat di atas. Terdapat lima penafsiran populer mengenai maksud “lebih baik dari seribu bulan”: Pertama, Ar-Rabi’ berpendapat bahwa lailatul qadar lebih baik dari umur seribu bulan. Kedua, menurut Mujahid, beramal di lailatul qadar lebih utama dari beramal seribu bulan di selain lailatul qadar. Ketiga, Qatadah mengatakan, lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan yang tidak terdapat di dalamnya lailatul qadar.

Keempat, Ibnu Abi Najih dan Mujahid mengisahkan, seorang dari Bani Israil pernah mengerjakan shalat malam hingga shubuh. Pada waktu paginya, dia berperang sampai sore. Rutinitas ini dilakukannya selama seribu bulan. Kemudian Allah SWT mengabarkan bahwa beribadah pada lailatul qadar lebih baik dari amalan yang dilakukan laki-laki tersebut, meskipun selama seribu bulan. Kelima, ada pula yang berpendapat, beribadah saat  lailatul qadar lebih baik dari kekuasan Nabi Sulaiman selama lima ratus bulan dan kekuasaaan Dzul Qarnain selama lima ratus bulan.

Kendati ulama berbeda pendapat, namun pada hakikatnya semuanya sepakat bahwa  lailatul qadar adalah malam mulia yang sangat baik digunakan untuk beribadah. Dalam sebuah tafsiran dikatakan, kata “seribu bulan” dalam ayat di atas sebenarnya mengisyaratkan sepanjang hari. Artinya, sampai kapanpun keutamaan lailatul qadar tidak tergantikan. Semoga kita diizinkan untuk beramal saleh tepat pada malam yang sarat kemuliaan ini. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdiansyah)

imam dan kepemimpinan

Nashbul Imam dan Kepemimpinan

Rabu, 29 juni 2016  
Menurut pandangan Islam, pada hakikatnya kekuasaan adalah amanat Allah SWT yang diberikan kepada seluruh manusia. Kemudian kekuasaan itu diwakilkan kepada pihak-pihak yang ahli dalam mengemban dan memikulnya.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit dan bumi. (QS Al-Ahzab: 72)

Dalam wacana faham Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) bahwa membangun negara (imamah) adalah wajib syar'i. Hal tersebut didasarkan pada dalil-dalil berikut ini:<>

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisa`: 59)

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَْيتَةً جَاهِلِيَّةٌ

Barangsiapa yang meninggal tanpa pernah melakukan baiat (janji loyal kepada pemimpin), ia mati secara jahiliyah. (HR Muslim)

Bahwa keahlian memegang amanat kekuasaan mensyaratkan kemampuan, kejujuran, keadilan dan kejuangan yang senantiasa memihak kepada pemberi amanat.

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَاً

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (QS An-Nisa`: 58)

إذَا ضُيِّعَتْ الأمَانَةُ فَانْتَظِرُ السَّاعَةَ. قِيْلَ وَكَيْفَ إضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إذَا وُسِدَ الْأمْرُ إلَى غَيْرِ أهْلِهِ

Apabila amanat disia-siakan maka tunggulah masa kehancurannya. Rasulullah ditanya seseorang: "Bagaimana menyia-nyiakan amanat itu?" Beliau menjawab: "Apabila suatu pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya." (HR Bukhari)

Proses pengangkatan kepemimpinan negara (nashbul imam) sebagai pengemban dan pemikul amanat kekuasaan, menurut Islam, dapat dilakukan dengan beberapa alternatif/cara yang disepakati oleh rakyat sepanjang tidak bertentangan dengan syari'ah.

Sebuah negara harus dibangun nilai-nilai luhur keislaman yang antara lain meliputi: al-'adalah (keadilan), al-amanah (kejujuran), dan as-syura (kebersamaan).

وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً

Apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS An-Nisa`: 58)

Untuk merealisasikan nilai-nilai luhur tersebut diperlukan wujudnya pemerintahan yang demokratik, bersih dan berwibawa.

Untuk melahirkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa diperlukan adanya kesadaran dan keinginan yang kuat dari rakyat untuk bersama-sama melahirkannya.

Negara yang demokatik yang merupakan perwujudan syura dalam Islam menuntut para pemimpinnya bukan saja bersedia untuk dikontrol, tetapi menyadari sepenuhnya bahwa kontrol sosial merupakan kebutuhan kepemimpinan yang memberi kekuatan moral untuk meringankan beban dalam mewujudkan pemerintahan yang adil, bersih dan berwibawa.


(Bahtsul masa'il diniyyah maudluiyyah pada Munas Alim Ulama di Pondok Pesantren Qomarul Huda, Bagu, Pringgarata, Lombok tengah, Nusa Tenggara Barat, 16-20 Rajab 1418 H / 17 November 1997 M)
Menurut pandangan Islam, pada hakikatnya kekuasaan adalah amanat Allah SWT yang diberikan kepada seluruh manusia. Kemudian kekuasaan itu diwakilkan kepada pihak-pihak yang ahli dalam mengemban dan memikulnya.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit dan bumi. (QS Al-Ahzab: 72)

Dalam wacana faham Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) bahwa membangun negara (imamah) adalah wajib syar'i. Hal tersebut didasarkan pada dalil-dalil berikut ini:<>

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisa`: 59)

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَْيتَةً جَاهِلِيَّةٌ

Barangsiapa yang meninggal tanpa pernah melakukan baiat (janji loyal kepada pemimpin), ia mati secara jahiliyah. (HR Muslim)

Bahwa keahlian memegang amanat kekuasaan mensyaratkan kemampuan, kejujuran, keadilan dan kejuangan yang senantiasa memihak kepada pemberi amanat.

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَاً

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (QS An-Nisa`: 58)

إذَا ضُيِّعَتْ الأمَانَةُ فَانْتَظِرُ السَّاعَةَ. قِيْلَ وَكَيْفَ إضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إذَا وُسِدَ الْأمْرُ إلَى غَيْرِ أهْلِهِ

Apabila amanat disia-siakan maka tunggulah masa kehancurannya. Rasulullah ditanya seseorang: "Bagaimana menyia-nyiakan amanat itu?" Beliau menjawab: "Apabila suatu pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya." (HR Bukhari)

Proses pengangkatan kepemimpinan negara (nashbul imam) sebagai pengemban dan pemikul amanat kekuasaan, menurut Islam, dapat dilakukan dengan beberapa alternatif/cara yang disepakati oleh rakyat sepanjang tidak bertentangan dengan syari'ah.

Sebuah negara harus dibangun nilai-nilai luhur keislaman yang antara lain meliputi: al-'adalah (keadilan), al-amanah (kejujuran), dan as-syura (kebersamaan).

وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً

Apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS An-Nisa`: 58)

Untuk merealisasikan nilai-nilai luhur tersebut diperlukan wujudnya pemerintahan yang demokratik, bersih dan berwibawa.

Untuk melahirkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa diperlukan adanya kesadaran dan keinginan yang kuat dari rakyat untuk bersama-sama melahirkannya.

Negara yang demokatik yang merupakan perwujudan syura dalam Islam menuntut para pemimpinnya bukan saja bersedia untuk dikontrol, tetapi menyadari sepenuhnya bahwa kontrol sosial merupakan kebutuhan kepemimpinan yang memberi kekuatan moral untuk meringankan beban dalam mewujudkan pemerintahan yang adil, bersih dan berwibawa.


(Bahtsul masa'il diniyyah maudluiyyah pada Munas Alim Ulama di Pondok Pesantren Qomarul Huda, Bagu, Pringgarata, Lombok tengah, Nusa Tenggara Barat, 16-20 Rajab 1418 H / 17 November 1997 M)
Menurut pandangan Islam, pada hakikatnya kekuasaan adalah amanat Allah SWT yang diberikan kepada seluruh manusia. Kemudian kekuasaan itu diwakilkan kepada pihak-pihak yang ahli dalam mengemban dan memikulnya.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit dan bumi. (QS Al-Ahzab: 72)

Dalam wacana faham Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) bahwa membangun negara (imamah) adalah wajib syar'i. Hal tersebut didasarkan pada dalil-dalil berikut ini:<>

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisa`: 59)

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَْيتَةً جَاهِلِيَّةٌ

Barangsiapa yang meninggal tanpa pernah melakukan baiat (janji loyal kepada pemimpin), ia mati secara jahiliyah. (HR Muslim)

Bahwa keahlian memegang amanat kekuasaan mensyaratkan kemampuan, kejujuran, keadilan dan kejuangan yang senantiasa memihak kepada pemberi amanat.

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَاً

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (QS An-Nisa`: 58)

إذَا ضُيِّعَتْ الأمَانَةُ فَانْتَظِرُ السَّاعَةَ. قِيْلَ وَكَيْفَ إضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إذَا وُسِدَ الْأمْرُ إلَى غَيْرِ أهْلِهِ

Apabila amanat disia-siakan maka tunggulah masa kehancurannya. Rasulullah ditanya seseorang: "Bagaimana menyia-nyiakan amanat itu?" Beliau menjawab: "Apabila suatu pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya." (HR Bukhari)

Proses pengangkatan kepemimpinan negara (nashbul imam) sebagai pengemban dan pemikul amanat kekuasaan, menurut Islam, dapat dilakukan dengan beberapa alternatif/cara yang disepakati oleh rakyat sepanjang tidak bertentangan dengan syari'ah.

Sebuah negara harus dibangun nilai-nilai luhur keislaman yang antara lain meliputi: al-'adalah (keadilan), al-amanah (kejujuran), dan as-syura (kebersamaan).

وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً

Apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS An-Nisa`: 58)

Untuk merealisasikan nilai-nilai luhur tersebut diperlukan wujudnya pemerintahan yang demokratik, bersih dan berwibawa.

Untuk melahirkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa diperlukan adanya kesadaran dan keinginan yang kuat dari rakyat untuk bersama-sama melahirkannya.

Negara yang demokatik yang merupakan perwujudan syura dalam Islam menuntut para pemimpinnya bukan saja bersedia untuk dikontrol, tetapi menyadari sepenuhnya bahwa kontrol sosial merupakan kebutuhan kepemimpinan yang memberi kekuatan moral untuk meringankan beban dalam mewujudkan pemerintahan yang adil, bersih dan berwibawa.


(Bahtsul masa'il diniyyah maudluiyyah pada Munas Alim Ulama di Pondok Pesantren Qomarul Huda, Bagu, Pringgarata, Lombok tengah, Nusa Tenggara Barat, 16-20 Rajab 1418 H / 17 November 1997 M)

presentasi pt duta network indonesia